BISNIS YANG SUDAH MAPAN SAJA TERUS MELAKUKAN INOVASI,BAGAIMANA DENGAN BISNIS YANG MASIH SEKALA UKM ?
LAYANAN PENGEMBANGAN BISNIS
Pada hakikatnya bisnis saat ini adalah pelayanan,dimana setiap kita memulai,mengembangkan bisnis selalu berpikir kreatif,inovatif serta terus menerus berupaya melayani kebutuhan dan keinginan manusia.
Senin, 10 November 2014
Sabtu, 25 Januari 2014
PEGIAT SOSIAL
Kegelisahan Para Pejuang Sosial
Oleh Rhenald Kasali
Di
halaman gedung kampus Ubaya (Universitas Surabaya), Sabtu - Minggu
pekan lalu, sekitar 200 pejuang sosial melakukan temu nasional. Sebagai
ketua umum AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia), saya adalah
orang yang paling gembira.
Bagaimana tidak, ketika
benih-benih yang disemai mulai tumbuh, hasilnya bisa segera dirasakan
masyarakat dan perubahan yang kita impikan bisa menjadi kenyataan.
Kalau
tahun lalu tuan rumahnya di Semarang adalah jaringan Rumah Usaha, di
Surabaya jaringan ini dipusatkan di Ubaya dan dikoordinasi Pusdakota
yang dipimpin Cahyo Suryanto. Pusdakota, sebagai social entrepreneur,
sangat aktif membina petani kota dan desa, lengkap dengan pelestarian
nilai-nilai budaya melalui jaringan para aktivis.
Di
sebelah saya saat itu duduk Bambang Ismawan, founder AKSI, yang sudah
lebih dari 50 tahun mengabdikan ilmunya sebagai pejuang sosial. Pak
Bambang dulu mengaku dirinya sebagai LSM. Tapi, kini dia lebih senang
menyebut dirinya social entrepreneur. Di bawah Yayasan Bina Swadaya,
telah banyak anak perusahaannya yang mampu mandiri dengan omzet per
tahun lebih dari setengah triliun rupiah
Tapi, nanti
dulu. Ini bukan bisnis biasa. Juga bukan bisnis berkedok sosial. Ini
usaha mandiri untuk mengentas kemiskinan, tidak untuk diambil dividennya
demi kepentingan pemegang saham. Juga, bukan usaha kapitalisme yang
melulu berfokus pada pembesaran kapital.
Apakah semua
itu mudah dicapai? Bambang Ismawan tersenyum. Dia menceritakan kesulitan
demi kesulitan yang sehari sebelumnya juga saya dengar dialami keluarga
Hartono yang mengawali usahanya dalam bidang rokok di Kudus. Bisnis dan
sosial ternyata sama pusingnya.
Tradisi Wiwitan
Pada
acara pembukaan, kami disuguhi tradisi yang khusus didatangkan dari
sebuah desa di daerah Sleman (Jogjakarta) yang dibina komunitas Pepen.
Di desa itu, anak-anak muda bekerja dengan para petani, mengembalikan
kesejahteraan yang dulu digeluti nenek moyang mereka. Mereka tidak hanya
bertani, melainkan juga mengembangkan budaya yang hampir punah.
Bertani,
menari, dan membentuk komunitas kesenian. Jadi, tarian itu berisi
jeritan suara petani yang berjuang habis-habisan ditekan mahalnya harga
benih, maraknya pemakaian pestisida, dan ''raksasa-raksasa'' lain yang
digambarkan secara halus.
Kita semua tahu, dunia
pertanian Indonesia tengah mengalami ujian berat. Pertanian lumpuh
berarti kelaparan di depan mata, alam berpotensi rusak, dan warisan
budaya pun terputus. Mereka itu semua gelisah. Namun, kegelisahan social
entrepreneur tersebut dituangkan dalam usaha kemandirian.
Mereka
bukanlah ahli pembuat proposal dan peminta sumbangan. Melainkan
pelaku-pelaku usaha yang melihat masalah sebagai peluang perubahan.
Peluang untuk mengembalikan kemandirian. Maka, bisnis pun digeluti.
Bukan bisnis asal kaya atau jurus-jurus cepat kaya, melainkan bisnis
yang adil, yang dibangun dari kerja keras, kejujuran, serta inovasi.
Bukan ATM, apalagi ATP (amati, tiru, plek-plek). Juga bukan jual beli
pakai kartu kredit yang ditambal sulam. Ini bisnis untuk menyambung
hidup.
Di depan saya juga ada Ibu Cici Farha, pejuang
sosial dari Jember, yang gelisah melihat anak-anak kampung yang berubah
menjadi kasar dan liar ditinggal orang-orang tua mereka menjadi buruh
migran di Malaysia. Anak-anak itu, kata Cici, menjadi mudah marah dan
saling memukul.
Cici tidak membuang waktu. Dia segera
mengumpulkan anak-anak di Desa Tanoker Ledokombo. Mereka diajak
berkreasi dengan bambu dan kayu. Ternyata, mereka begitu cepat belajar.
Di atas egrang bambu setinggi 2 meter, mereka bisa menabuh gendang,
bermain pedang-pedangan, dan seterusnya. Cici pun mendanai mereka,
memberikan sentuhan koreogratif, musik, aksesori, dan seterusnya.
Tontonannya menjadi indah.
Kini tinggallah upaya
membangun rasa percaya diri. Dari tiada, dari serba bermasalah, menjadi
sebuah kesenian yang bisa diwariskan. Barangkali ini kelak bisa saja
menjadi seperti Saung Angklung Udjo yang kini setiap hari didatangi
ribuan turis mancanegara di Bandung. Dulu Udjo juga memulainya dari
tiada. Bahkan, dia membawa anak-anaknya sendiri berkesenian dari kampung
ke kampung.
Cici membangun festival egrang
bertahun-tahun sampai egrang dikenal sebagai ikon ketiga Kota Jember
setelah Jember Fashion Carnaval yang juga dibangun social entreprenuer
Dynand Fariz yang pernah diberi penghargaan oleh Ashoka Foundation.
Sebentar
lagi Cici bersama anak-anak itu berangkat ke Thailand, melakukan show
di sana. Anak-anak kecil di Desa Tanoker Ledokombo yang tidak dikenal
pun bisa melanglang buana. Melihat dunia dari jendela mereka yang kecil
di sebuah desa.
Gelisah dan Bergerak
Pejuang
sosial hari ini memang berbeda dengan hari-hari kemarin. Kalau dulu
mereka antibisnis, kini pejuang-pejuang tersebut tahu persis bahwa
mereka bisa menggunakan kewirausahaan untuk melakukan perubahan. Karena
itu, mereka harus bisa menemukan produk-produk yang inovatif dan
menciptakan value kepada semua stakeholder-nya.
Mereka
harus bisa memanfaatkan jurus-jurus camera branding, namun tentu saja
harus bisa memenuhi human needs dan wants yang semakin kompleks. Mereka
harus bisa memberikan pelayanan yang lebih baik, inovatif, dan dengan
manajemen usaha layaknya bisnis.
Bedanya dengan aktivis
biasa, saat gelisah, mereka itu justru bergerak dan memperbarui
sesuatu. Mereka tidak mempersoalkan ideologi, melainkan berjuang jatuh
bangun. Apa salahnya menghadapi kesulitan-kesulitan? Yang jelas, mereka
tidak pernah berhenti. Mengeluh hanya sewaktu-waktu untuk menghela
napas. Selebihnya, mereka menggunakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
sebagai tantangan.
Karena itu, saat Indonesia resah
melihat birokrasi yang lambat menyelesaikan masalah-masalah sosial, kita
bisa menaruh harapan kepada para pejuang sosial tersebut. Apalagi,
sekarang sudah ada ''mesin penghubung kebaikan'' yang juga dirintis anak
muda pejuang sosial lainnya dari UI. Anda bisa membuka website-nya
(kitabisa.co.id) dan terlibat di dalamnya.
Untuk melakukan perubahan-perubahan besar-besaran, kita memang membutuhkan kolaborasi besar-besaran.
![]() |
Aktifitas pemulung menjadikan barang bekas jadi emas.... |
Minggu, 24 Juli 2011
Product Life Cycle
PRODUCT LIFE CYCLE
Keterangan :
1. Setiap produk punya siklus/fase hidup
2. Setiap produk awal diluncurkan dipasar perhitungkan savety factor atau resikonya diperhitungkan
3. Risk = rasio harga produk maksimal di pasar/harga minimal produk
Ex : 10000/4500= 2,2 x
4. Secepat mungkin upayakan bisa BEP pada masa intro
5. Pada masa growth ditandai volume penjualan cendrung meningkat
6. Mature harga produk stabil dan volume penjualan stabile
7. Pada masa decline = Vol penjualan turun _____ jangan ambil bisnis/pada masa produk decline
Contoh : Trand produk pager mulai turun dan tengelam.
Catatan : Selain memperhatikan PLC perlu juga 4 P diperhatikan ketika memilih suatu usaha utk produk bias survive,4P = Price,Promotion,Place Produk
Pada masa intro _ prioritaskan price,pada masa growth_promotion,
Keterangan :
1. Setiap produk punya siklus/fase hidup
2. Setiap produk awal diluncurkan dipasar perhitungkan savety factor atau resikonya diperhitungkan
3. Risk = rasio harga produk maksimal di pasar/harga minimal produk
Ex : 10000/4500= 2,2 x
4. Secepat mungkin upayakan bisa BEP pada masa intro
5. Pada masa growth ditandai volume penjualan cendrung meningkat
6. Mature harga produk stabil dan volume penjualan stabile
7. Pada masa decline = Vol penjualan turun _____ jangan ambil bisnis/pada masa produk decline
Contoh : Trand produk pager mulai turun dan tengelam.
Catatan : Selain memperhatikan PLC perlu juga 4 P diperhatikan ketika memilih suatu usaha utk produk bias survive,4P = Price,Promotion,Place Produk
Pada masa intro _ prioritaskan price,pada masa growth_promotion,
Langganan:
Postingan (Atom)